Minggu, 12 September 2010

Terima kasih Cinta



Sembilan tahun sudah kita bersama, dalam suka dan duka. Banyak hal yang telah sama-sama kita lakukan dengan keikhlasan. Kuucapkan terima kasih padamu yang telah menemani hidupku. Aku bersyukur Allah telah mempertemukan kita lebih awal dari apa yang telah aku rencanakan sebelumnya

Kita berkenalan saat aku duduk di bangku SMA. Kau datang lewat teman-temanku. Lewat halaqah kecil di sebuah ruko sewaan milik mbak yang membimbingku mengenalmu. Jujur saja, waktu itu aku acuh tak acuh padamu. Namun, kau begitu mempesona. Aku menaruh hati padamu. Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Tapi, aku belum bisa mencintaimu lebih dalam. Atau bahkan berharap bisa memilikimu.

Aku masih remaja. Remaja yang sedang mencari jati diri. Remaja yang masih gemar kebebasan dan kesenangan mengikuti gaya hidup. Aku masih labil. Aku masih ingin bebas. Bebas menentukan arah hidupku. Bagiku, bila aku bersamamu, hidupku berada dalam keterikatan. Mengekang hakku sebagai seorang remaja yang sedang ingin mencari jati diri. Dan aku belum merasa nyaman bersamamu. Aku takut kau akan membuatku gerah.

Tapi, teman-temanku telah mengenalmu lebih dulu. Bahkan mengenalmu lebih jauh. Mereka enjoy bersamamu. Tidak terlihat sesuatu yang aku khawatirkan pada diri mereka. Saat itu aku merasa cemburu. Cemburu karena mereka bisa dekat denganmu. Aghh, mereka benar-benar bahagia. Bahagia sekali bisa menata hidup dan menetapkan pilihan hidup. Rasa bahagia itupun seakan-akan menghampiriku juga. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, tapi di sisi lain aku merasa belum siap bila nanti aku bersamamu. Bagiku, kau begitu indah. Aku tak ingin menyakitimu dan tak ingin setengah hati mencintaimu. Aku ingin jika suatu saat kita dipertemukan, selamanya kau menjadi milikku. Dan seutuhnya aku mencintaimu.

Saat di halaqah rutin, mbakku sering kali membicarakanmu, memujimu, dan menyanjungmu. Ugh.. hal ini membuatku semakin terpuruk. Entah kenapa aku belum juga tergerak untuk mengenalmu. Aku yakin suatu saat aku pasti akan lebih mengenalmu dan ingin bersamamu selamanya. Tapi itu nanti. Saat aku benar benar siap menerimamu dan yakin mampu menjalani hidup ini denganmu. Mungkin saat usiaku 18, atau 20 atau 25 tahun atau mungkin saat usiaku sudah kepala tiga. Aku dilema. Antara kebebasan dan kewajiban. Antara yang hak dan yang …. Aaghh entahlah. Aku belum mampu memutuskan jalan hidupku. Banyak ketakutan yang menderu. Tak ingin hidup seperti ini, tapi, aku belum bisa menerimamu untuk hadir dalam hidupku. Tapi, Aku pantas bersyukur pada-Nya, karena tausyiah mbakku itu membuatku jadi ingat padamu, dan mnginginkanmu.

Kau selalu ingin menyapaku, namun seringkali aku cuek. Aku yakin kau tak pernah sedih dan tak pernah menyerah mendekatiku. Aku tak pernah menghindarimu, hanya saja aku belum bisa bersamamu. Butuh waktu yang cukup. Mungkin aku harus belajar mengenalmu dan memahamimu terlebih dulu.

Pelan-pelan kau mendekatiku. Ya aku tahu itu, bahwa Dia-lah yang menggerakkan hatiku. Kau ajari aku mengenal dengan baik agamaku, kau dekatkan aku dengan Nya. Kau dekatkan aku dengan Al Qur’an, kau minta aku untuk berbuat baik pada sesama. Semua kau lakukan agar aku bisa mengenalmu. Terima kasih atas semua bentuk perhatianmu padaku.. tahukah engkau ?? Selama aku mempelajari semuanya, tumbuh benih cinta dalam hatiku. Aku nyaman dekat dengan-Nya. Aku jatuh cinta padamu. Kau tersenyum saat hatiku berkata seperti itu. Seolah tahu apa yang aku rasakan. Kau semakin sering mengantarku kemanapun. Saat aku menginginkan sesuatu yang berada di luar arahmu menuntunku, kau setia menemaniku. Kau sadarkan kekhilafanku walau berkali-kali kulakukan. Kau berkata padaku bahwa itu manusiawi. Karena manusia itu tidak ada yang sempurna kecuali Rosulullah Saw. Aghh.. Lagi lagi aku harus mengucapkan terima kasih padamu yang telah setia menemaniku. Kuharap kau bisa bersabar denganku. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya bahwa aku butuh waktu untuk hidup bersamamu.

Satu tahun mungkin waktu yang lama bagimu menemaniku. Kau menanti keputusanku. Kau masih bersabar menungguku selama 1 tahun. Selama itu juga, belum ada tanda aku akan hidup bersamamu. Aku salut denganmu. Kau terus bersabar menungguku. Malah terkadang aku merasa sedih. Karena aku telah menyia-nyiakan waktumu selama 1 tahun. Tahukah kau ?? Aku selalu memikirkanmu. Aku memohon pada Allah agar menggerakkan hatiku dan menerima kau dalam hidupku.

Hidupku berada dalam bayang-bayang ketakutan. Kematianlah yang lebih aku takutkan. Aku takut bila nanti aku mati sebelum aku bersamamu. Aku pasti sedih dan kaupun pasti akan lebih sedih. Tapi, aku tidak bisa memutuskannya. Apalagi bila aku harus memberitahukan keputusan hidupku ini pada ke dua orang tuaku. Aku takut mereka menolak keputusanku. Aku belum siap mendengarnya. Tapi, kau terus berusaha meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Kau bilang, aku tak boleh takut apalagi menunda kebaikan. Kau mendorongku melakukannya. Kau katakan siap menerima apapun jawaban dari mereka. Akhirnya, demi menyempurnakan cintaku, aku putuskan untuk menyampaikan hasratku pada mereka.

Jawaban itu kudapatkan. Kaupun mengetahuinya. Mereka tidak menyetujui kita bersama dalam waktu sedekat ini. Mereka menganggap bahwa aku masih terlalu muda untuk memutuskannya. Banyak ketakutan duniawi dari mereka bila kita bersama. Huhh.. Aku tidak tahu harus bagaimana cara meyakinkan mereka. Keputusan mereka tidak bisa diganggu gugat. Terutama ayah. Beliau sangat tidak setuju dengan keputusanku. Aku bersedih. Namun, kau tetap terlihat tegar. Kau katakan padaku bahwa aku tak boleh bersedih karena Allah bersamaku. Aku pun jadi bersemangat kembali. Kucoba membujuk mereka dan meyakinkan mereka. Lagi lagi hasilnya sama seperti sebelumnya. Sudah berkali-kali kucoba hingga akhirnya aku berada di titik terendahku, yaitu pesimis. Rasanya tak mungkin lagi meyakinkan mereka untuk urusan ini. Kau menghiburku. "tenanglah, tetap berusaha dan jangan menyerah." bisikmu.

Daaannn Alhamdulillah. mereka merestui kita untuk hidup bersama. Aku bahagia walau aku sendiri tak memiliki modal yang cukup untuk menjalani hidup denganmu. Tapi, aku tetap bahagia. Resmilah kita pada 10 september 2001. Janji setiaku padamu telah aku ikrarkan. Semoga Allah menjagaku bersamamu selamanya, hingga akhir waktuku.

Perjalanan hidup baru kita berjalan lancar. Selancar jalan tol saat hari pertama idul fitri tiba. Kita bisa melewatinya tanpa ada hambatan kemacetan ataupun kekacauan. Namun, tak selamanya kelancaran itu dapat kita nikmati. Adakalanya hiruk pikuk dan kemacetan itu datang menghalangi perjalanan kita. Sepekan kita bersama, orang tuaku merasa tak nyaman. Kata mereka, aku berubah, menjadi lebih tertutup dan menjaga jarak pada setiap orang, terutama lawan jenis yang bukan keluargaku. Mereka juga tidak nyaman dengan penampilan baruku. Apalagi dengan penutup kepala, lengan dan kakiku. Aku dianggap sesat. Pengajian rutinan tempat pertama kita berkenalanpun dianggap sesat dan mereka tidak mengizinkanku lagi mengikuti pengajian. Mereka memintaku kembali seperti dulu lagi. Astaghfirullah.. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa mereka berprasangka seburuk itu? Ya Allah, apakah ini ujian? Ujian yang Engkau berikan untuk menguji keimananku? Tubuhku lunglai. Tatapanku kosong. Pikiranku galau. Aku diam membisu. Butiran air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Perkataan mereka bagaikan petir yang meluluh-lantakkan seluruh persendianku. Sungguh aku tidak pernah menduga ujian yang Dia berikan seperti ini. Di mana letak kesalahanku? Aku hanya ingin memberikan yang terbaik, menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi anak yang solehah dan berbakti pada mereka. Aku tidak tersesat. Aku merasa berada di jalan yang lurus. Tapi, kenapa mereka menuduhku seburuk itu? Tangiskupun pecah saat ayah memberikan berbagai ancaman bila aku tidak mau menuruti perkataannya. Kata-kata tajampun meluncur dari mulut orang yang aku cintai ini. Kata-kata yang menyayat-nyayat hati. Tangisku semakin menjadi-jadi. Ya Allah.. Betapa beratnya cobaan ini. Kenapa jalan untuk menaati-Mu begitu sulit? Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sungguh, aku tidak bisa melakukannya. Aku telah berjanji pada diriku, padamu dan pada Tuhanku. Bukankah ini jalan yang telah aku pilih ?? Aku berazam bahwa aku akan mencintai-Nya dan mencintaimu sepenuhnya dan selamanya. Aku menerima perintah Tuhanku tanpa syarat apapun. Oohh.. sangat disayangkan sikap mereka. Aku merasa kau turut bersedih. Ini pertama kalinya aku melihat gurat kesedihan di wajah beningmu. Kau berkata padaku bahwa kau tak dapat membantuku. Aku semakin larut dalam kesedihan. Jalan baru yang telah aku rancang telah tertutup rapat dan wajahmu yang bening menjadi pias. Tapi, tenanglah.. aku tak akan menyalahkanmu. Ini hidupku dan inilah keputusanku. Semua harus aku terima apapun resiko yang kudapati. Kita harus maju bersama. Ini ujian hidup kita untuk menguji kesetiaan kita. Kita tak boleh gegabah. Butuh waktu untuk mendekati mereka dengan jalan ini. Tak tahu siapa yang dapat membantuku. Semua anggota keluarga tak ada yang mendukungku.. Aku semakin terpojok dan tersedu dalam tangis. Saat aku menceritakan kejadian ini, mbak dan teman-teman pengajianku turut bersedih dan tidak mampu berbuat apapun selain menceritakan kisah Rasulullah dan kisah heroik para akhwat yang telah memilih jalan yang sama denganku. "Bertawakal hanya kepada-Nya karena Dia yang MAha di Atas segalanya. Dia-lah yang menggenggam hidup kita, dan hanya pada-Nya kita pasrahkan segala urusan", begitu pesan mbakku. Ya..hanya Dia yang dapat menolongku. Kau pun meyakinkanku bahwa Allah akan menolong kita. Itulah kalimat mustajabmu. Kalimatmu benar-benar mustajab. Mungkin ini semua karena Allah yang mengirimkan kau untuk ku sehingga kau benar-benar yakin akan janji-Nya. Dan akupun harus yakin dengan janji-Nya bahwa Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.Bismillah….

Surprise. MAha Suci Allah atas segala karunia-Nya, kita bisa melewati masa-masa tersulit itu walau dengan negosiasi yang rumit dan win-win solution. Aku harus mengalah. Mengalah untuk kebaikan dan kemenangan nanti.

Pertarungan baru pun terjadi antara kau dan aku. Kita sedikit berbeda. Ya.. aku sedang berjuang mengambil hati kedua orang tuaku agar mereka bisa memahami kita. Aku turuti segala permintaan mereka selagi dalam batas kewajaran. Kau cemburu seolah-olah aku tidak lagi peduli padamu. Tenanglah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita masih bisa bersama walau dengan situasi dan kondisi yang agak berbeda dan sembunyi-sembunyi. Aku berkorban demi kita agar tetap dapat bersama kembali seperti janjiku pada Tuhan-ku. Bukankah kesetiaan itu perlu pengorbanan?

Tahun berikutnya, kita dapat melewati ujian itu. Alhamdulillah, Semua masalah aman terkendali..Allah selalu menolong kita untuk tetap bersama. Lulus SMA, aku hijrah ke luar kota demi menjaga hubungan kita. Aku tak bisa pergi darimu. Tapi, aku harus pergi sementara, meninggalkan orang-orang yang aku cintai. Kuperjuangkan cintaku pada Rabb-ku di perantauan agar aku juga bisa istiqamah bersamamu. Di tempat baru, banyak hal baru yang aku dapati. Aku banyak belajar mengenal arti cinta terhadap Rabb-ku. Sungguh bahagia. Kita semakin terjaga dan kuat. Pikiranku mulai terbuka. Di sini aku bebas bersamamu. Aku semakin mencintaimu dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Cintaku padamu takkan pernah berubah. Aku ingin kau selalu menghiasi hidupku dengan ketakwaan pada-Nya. Aku ingin kita selalu bersama. Aku berusaha belajar mencintai Tuhan-ku, menjalankan perintah-Nya dan mengikuti sunnah rosul-Nya, dan berbuat baik pada sesama. Dengan inilah, caraku agar bisa setia padamu selamanya.

10 September 2010 adalah hari jadi kita yang ke-9. Tak terasa sudah sembilan tahun kita bersama. Berbagi suka dan duka. Iman dan keajaiban, dalam buku Jalan Cinta Para Pejuang, telah memberikan inspirasi untuk menulis kisah kita ini. Kisah yang penuh dengan lika-liku. Kisah yang membuatku terus mencoba bertahan di jalan ini bersamamu. Terima kasih cinta atas kebersamaan ini. Sembilan tahun bukanlah waktu yang lama. Kita masih terlalu muda dan masih rentan dengan pertengkaran dan cobaan hidup. Aku masih harus mengenalmu lebih jauh lagi. Maafkanlah diriku, bila selama ini aku masih suka jahil, dan masih suka bertindak di luar batasan agama. Maafkan aku atas pertengkaran-pertengkaran kecil yang membuatmu sedih. Maafkan aku yang masih menginginkan pujian orang lain saat aku bersamamu. Maafkanlah diriku. Sungguh aku hanya manusia biasa yang masih butuh bimbingan dan tuntunan dari-Nya. Tetaplah bersamaku wahai HIDAYAH. Jangan kau lari dariku saat aku terpuruk dalam kesenangan duniawi. Aku ingin selalu bersamamu selamanya dan seumur hidupku. Bagiku kau adalah anugerah Tuhan yang terindah dalam hidupku. Tak ingin aku menyiakanmu. Kau penerang hidupku. Kau yang menyadarkanku akan keberadaanku di dunia ini. Oleh karena itu, kumohon….tetaplah di sisiku..

Thanks to Allah atas hidayah ini. Thanks to my friends yang telah memperkenalkanku pada jalan ini. Semoga Allah menjaga kita dengan hidayah-Nya. Thanks to murabbi pertamaku. Wahai Zat yang telah menciptakan diri ini, izinkan aku bersamanya, hidayah-Mu selamanya hingga kau utuskan malaikat Izrail mencabut nyawa di kerongkonganku.. Allahu robbul’izzati.. Sang pemilik hidup ini. Selamatkan kami dari kemunafikan diri kami. Amiin yaa rabbal’alamiin….

kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di

http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html